"Awas, nanti hilang!"
Perkataan pada judul tersebut merupakan kata yang banyak dikatakan orang ketika mendengar mahasiswa yang kuliah sambil belajar agama. Aku teringat kembali kata tersebut karena manajerku mengatakan hal demikian ketika aku menceritakan bahwa aku mempelajari agama sambil kuliah. Jadi teringat masa lalu, ibuku sempat melarangku ketika hendak tinggal di wisma udrussunnah akhwat. Ibuku mengatakan bahwa beliau takut kehilangan diriku.
Pada jumat sore ketika kami sedang menunggu pesanan kopi dengan ojek online, Bapak Manajer bertanya mengenai tempat tinggal kami selama kuliah di Bandung. Beliau mengetahui bahwa keluargaku tinggal di Bandung, namun aku menambahkan bahwa diriku tinggal di asrama muslimah dimana orang yang tinggal disana menuntut agama pula. Mendengar hal itu, beliau mengernyitkan dahinya. Biasanya ia berkata sambil tersenyum ketika menjelaskan sesuatu pada kontraktor, namun kalimatku ini tampaknya membuat dirinya terheran-heran. Beliau berkata, "Awas nanti hilang, keasyikan belajar agama, terus nanti kuliahnya ditinggalin". Aku hanya tersenyum, mungkin tidak begitu terlihat karena menggunakan masker, tapi aku mengerti mengapa beliau mengatakan hal itu. Memang selama ini, itulah pandangan terhadap mahasiswa yang belajar agama, takutnya ikut aliran sesat. Kemudian aku menimpali perkataan beliau, "Saya tidak hilang, Pak. Buktinya sekarang saya masih kuliah sampai semester 6, insya Allah mau semester 7."
Kami diajarkan oleh pembina kami, ustadz Andy Octavian Latief, untuk menyelesaikan semua amanah yang diberikan oleh orang tua. Kuliah merupakan amanah yang diberikan oleh orang tua, mereka menaruh harapan besar terhadap kita yang berkuliah. Kita tidak boleh mengecewakan orang tua karena alasan ingin belajar agama. Kita harus siap mengorbankan waktu dan tenaga untuk belajar agama karena dengan ilmu itulah waktu kita menjadi berkah.
Kemudian Pak Manajer melanjutkan pertanyaannya. Nampaknya ia masih penasaran aliran mana yang aku pelajari. Ia juga membawa isu radikal di kampus. Beliau pun bertanya, "Kalau ada orang yang beda sama pendapat kamu, kamu sebut kafir ga?"
Allahul musta'an, pertanyaan yang mengagetkan. Kalaupun ada yang menjawab ya pada pertanyaan tersebut, sudah pasti ia adalah golongan yang menyimpang, mungkin saja langsung dilaporkan pada polisi. Sebenarnya mengatakan seseorang kafir tidak semudah itu, bahkan seseorang tidak boleh dikatakan kafir kalau bukan pemerintah yang memvonis, disebutkan oleh dalil yang shahih, atau orang tersebut mengaku sendiri bahwa dirinya kafir. Aku mencoba menjawab pertanyaan Pak Manajer dengan tenang, "Saya akan menanyakan pada orang itu, apa sumber yang membuat ia mengambil pendapat itu. Saya mengetahui bahwa sembarang mengkafirkan seseorang itu tidak boleh."
Beliau pun tampaknya tidak puas. Beliau menanyakan perihal beberapa aliran dan kemudian sampai pada satu pertanyaan, "Kamu alirannya apa?", kemudian aku jawab dengan yakin, "Islam yang mengikuti para salafush shalih Pak". Jika golongan terbaik dalam memahami ilmu dunia adalah orang-orang barat, maka pemahaman terhadap ilmu dunia akan berkiblat pada pemahaman mereka. Begitupun generasi yang memiliki pemahaman yang terbaik terhadap risalah yang diwahyukan pada rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah generasi terdahulu, yaitu para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sudah seharusnya pemahaman terhadap islam mengikuti pemahaman mereka.
Sepertinya beliau sudah puas dengan jawabanku. Beliau pun berkata,"Berarti kamu bener". Alhamdulillah, berarti aku tidak akan dilaporkan ke polisi. Mungkin jika aku terindikasi aliran sesat, beliau tidak segan untuk menyuruhku keluar atau melaporkan pada polisi. Aku mengerti resiko mengatakan bahwa aku ini juga merupakan thalibah. Orang-orang lain mungkin masih terpengaruh terhadap keumuman cerita yang sampai di telinga mereka. Yang harus kita lakukan adalah menyampaikan dengan santun kebenaran yang kita ketahui, tanpa harus menyakiti hati mereka. Mempelajari agama seharusnya juga dapat memperbaiki akhlak kita ketika berinteraksi dengan orang lain, bukan menjadi alasan untuk menyingkir dari kewajiban. Justru seharusnya lebih banyak manfaat yang ditebarkan dengan mempelajari ilmu syar'i.
Pabuaran, Cibinong
Komentar
Posting Komentar