Mengosongkan Gelas untuk Diisi (Bagian 1)
Ada suatu pepatah lama yang aku sukai hingga saat ini, "If there is a will, there is a way". Ketika kita memiliki tekad untuk melakukan sesuatu, dengan izin Allah, terbuka jalan-jalan untuk kita mewujudkan apa yang ingin diusahakan bahkan jalan-jalan yang tidak disangka-sangka. Aku sudah lama memerhatikan sampah pasar. Aku memikirkan cara untuk dapat memanfaatkannya. Sayangnya karena keterbatasan ilmuku, seringkali aku menemui jalan buntu di dalam pikiranku sendiri. Namun Allah mengetahui keinginanku itu. Ketika aku menemui jalan buntu, Allah menunjukanku jalan dengan mempertemukanku pada dua sosok yang sangat menginspirasi, Pak Hatami pada Desember lalu dan Pak Asep yang kutemui hari ini.
Pak Hatami merupakan CEO dari PT. Cinquer Argo Nusantara. Beliau merupakan lulusan Teknik Fisika ITB tahun 1998. Beliau sempat bersekolah di Belanda untuk mempelajari nanoteknologi. Namun menetapnya beliau disana membuat beliau sadar bahwa Negara Kincir Angin itu masih membutuhkan rempah-rempah dari Indonesia hingga saat ini. Maka dari itu sesampainya di Indonesia, bukannya membuat perusahaan yang bergerak di bidang nanoteknologi, beliau tertarik untuk bergerak di bidang pertanian. Beliau membuat usaha pertanian yang generatif yang banyak melakukan edukasi pada para petani.
Lain ceritanya dari Pak Hatami yang berpendidikan tinggi, Pak Asep adalah seorang tukang ojek. Beliau tergerak untuk melakukan pemilahan sampah dari rumahnya, kemudian ia mengajak RT kemudian RW lingkungan rumahnya, rumah kakaknya, dan rumah ibunya. Melihat potensi yang luar biasa pada Pak Asep, DLH yang sedang bekerjasama dengan Kawasaki Jepang menjadikan Pak Asep sebagai mentor pada RW-RW yang lain di Kota Bandung untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah di rumah. Pada program tersebut, beliau diberikan penghargaan sebagai mentor terbaik.Beliau pun diterbangkan ke Jepang untuk melihat sistem pengelolaan dan pengolahan sampah di Jepang. Sepulang dari Jepang, beliau kembali menjadi ojek, namun tak lama kemudian, DLH Kota Bandung menjadikannya Pekerja Harian Lepas untuk mengelola pengolahan sampah Pasar Ciwastra.
Dari Pak Hatami dan Pak Asep aku belajar untuk melihat masalah secara holistik. Dalam konteks aku yang merupakan orang lingkungan, melihat masalah secara tidak holistik seringkali menyebabkan kita menjadi teralihkan dengan isu yang tidak penting sehingga tidak memberikan dampak yang begitu besar. Misalnya adalah kampanye tentang mengganti penggunaan sedotan plastik sekali pakai menjadi sedotan yang dapat digunakan ulang yang terbuat dari stainless steel. Padahal jika diukur, sampah sedotan hanya sebagian kecil saja dari sampah (meskipun dalam hal ini aku juga tidak suka kalau penyu dan biota laut lainnya sampai terganggu hidupnya karena hal itu). Selain itu, jika kita hanya melihat masalah sampahnya saja, kita hanya akan berkutat dengan bagaimana sampah itu bisa tereduksi dengan cepat di muka bumi ini sambil tetap mendapat keuntungan. Permasalahan itu menjadi hal yang sangat pelik apabila kita tidak melihat permasalahan secara keseluruhan. Aku menyadari bahwa pengelolaan sampah (terkhusus sampah organik) itu berkaitan dengan ketahanan pangan.
Sampah yang kita buang itu sebenarnya masih dibutuhkan dan masih memiliki nilai meski sudah berkurang banyak ataupun sedikit. Aku memperhatikan sampah pasar yang dihasilkan pada Pasar Induk Gedebage adalah sampah organik. Meskipun aku belum memiliki datanya, kalau aku boleh mengurutkan dari sampah organik yang paling bermasalah, maka urutannya adalah sampah sabut kelapa, pisang, dan sawi, Di tengah jalan yang becek dan berlumpur, kami menyusuri jalan-jalan di pasar, mencoba bertanya pada penjual tentang pengelolaan sampah yang ada di pasar ini, yang tampaknya sangat semrawut. Ketika aku dan Tyaz bertanya pada ibu penjual kelapa, beliau mengatakan bahwa iuran sampah setiap harinya adalah sebesar 15.000. Namun pengangkutannya tentu tidak tiap hari, saking acaknya jadwal pengangkutan, ibu tersebut tidak mengingat ada jadwal reguler pengangkutan. Apabila sampah kelapa yang dihasilkan begitu banyak namun sampah tidak kunjung diangkut, maka ibu tersebut akan meyuruh pegawainya untuk mengangkut sampah sabut kelapa itu untuk kemudian dibakar di Limbangan. Di Limbangan terdapat lahan kosong yang dapat digunakan untuk membuang sampah pasar yang kelebihan. Disana sampah sabut kelapa dibakar. Selain itu, penjual semangka mengatakan bahwa iuran sampah setiap hari adalah 15.000 tapi kalau tidak dikumpulkan, iurannya adalah 10.000. Namun pedagang pisang mengatakan yang sama dengan penjual kelapa tadi. Pedagang pisang itu juga mengatakan bahwa sampah pasar yang paling problematis disini adalah sampah pisang dan kelapa. Aku menjadi tersadar, benar juga, kedua sampah itulah yang paling membuat pasar ini terlihat kotor. Ia juga mengatakan bahwa pengangkutan sampah dilakukan oleh petugas kebersihan dan suatu PT. Ia tidak mengingat PT apa yang mengelola, yang jelas setelah ada PT itu, iuran sampah menjadi semakin bertambah, namun pengangkutan sampah setiap minggunya juga semakin sering--ya meskipun masih tidak baik. Setelah puas melihat semrawutnya pasar induk gedebage: sampah yang begitu banyak, jalan berlumpur, drainase yang tidak baik di Pasar Gedebage, aku dan Tyaz pun mencoba untuk pergi ke Pasar Ciwastra. Aku pernah mendengar bahwa pengolahan dilakukan dengan baik disana.
Sesampainya di Pasar Ciwastra, kami disambut dengan langit yang semakin gelap. Pasar ini memang terlihat lebih rapi daripada Pasar Gedebage. Namun semakin lama kami berjalan ke bagian belakang pasar, semakin terlihat gundukan sampah. Aku terheran-heran, bagaimana mungkin pasar ini menghasilkan sampah sebanyak ini? pada area pasar, banyak digunakan bebatuan pada jalan, mungkin untuk mencegah terjadinya genangan air. Namun semakin dekat dengan gundukan sampah, jalan yang kami pijak merupakan tanah basah yang memang sudah menjadi lumpur karena hujan kemarin. Aku menaikkan sedikit rok yang kupakai, menjaga agar tidak kotor. Kami pun sampai di tempat sampah. Aku agak bingung ingin bertanya pada siapa, tapi kuberanikan diri untuk bertanya pada seorang petugas sampah yang sedang duduk, "Assalamu'alaikum Pak, izin bertanya kalau di tempat ini sampahnya cuma diangkut ke tempat selanjutnya atau diolah ya Pak?" Beliau yang tadinya terlihat siap untuk menjawab seketika ragu ketika mendengar kata "olah", maka beliau mengarahkanku untuk masuk saja ke suatu tempat untuk menemui orang yang dapat menjawab pertanyaanku. Aku dan Tyaz pun berjalan menuju tempat yang beliau tunjukkan. Kami pun bertemu dengan pria kurus berbaju coklat yang bernama Pak Anton dan pria agak tambun berpakaian biru bernama Pak Asep. Aku pun memulai percakapan dengan memperkenalkan diri. Melihat mesin pencacah dan tumpukan sampah organik yang sudah terpisah dari sampah anorganik, aku sudah menyangka bahwa percakapan dengan dua orang ini akan menjadi pembelajaran berharga bagiku.
Berlanjut di Bagian 2
Komentar
Posting Komentar