Mengosongkan Gelas untuk Diisi (Bagian 2)

 "Assalamu'alaikum, Perkenalkan saya Mutiara dan Tyaz mahasiswa Teknik Lingkungan ITB, izin tanya-tanya boleh, Pak?"

 Pak Anton dan Pak Asep menyambut pertanyaanku dengan antusias. Pak Anton mengarahkan kami untuk bertanya pada Pak Asep. Pak Asep duduk pada suatu kursi sambil mempersilakan kami untuk duduk juga. Namun, kurasa, aku lebih nyaman bertanya sambil berdiri karena aku bisa memperhatikan Pak Asep, Pak Anton dan segala yang ada dengan lebih baik. Aku mulai menanyakan apa yang dilakukan di tempat itu. Pak Asep menjelaskan bahwa di tempat itu dilakukan pengolahan sampah organik dengan menggunakan mesin pencacah sehingga dihasilkan bubur. Sedangkan sampah anorganik dari pasar diolah pada insinerator kecil yang disebut dengan Wisanggeni. Dengan ini, sampah residu yang diangkut ke TPA menjadi tidak banyak. 

Pak Asep mungkin mengerti bahwa aku penasaran dengan tumpukan sampah yang begitu banyak di depan. Beliau pun menjelaskan bahwa tumpukan sampah itu adalah sampah tercampur warga Kecamatan Buahbatu dan Rancasari. Sampah-sampah itu akan diangkut ke TPA tanpa diolah karena tercampur. Beliau menceritakan bahwa di beberapa RW di Kecamatan Sukamiskin, Regol, Cibuntu sudah mulai melakukan pemilahan sampah dari rumah. Sampah yang terpilah itu dapat langsung dimanfaatkan oleh warga, meskipun hanya yang organik.

Jujur sebagai warga Kecamatan Buahbatu, aku merasa malu masih menjadi termasuk warga yang tidak teredukasi untuk memilah sampah. Aku jelas sudah mengerti bahwa pengolahan sampah terpilah akan menghasilkan hasil olahan yang dapat dimaksimalkan manfaatnya. Padahal wilayah-wilayah lain sudah mulai memilah dan mengolah sampahnya. Aku sering mengeluhkan bahwa pengangkutan sampah masih selalu dicampur. Padahal apabila tempat sampah organik dan anorganik dipisah, pengangkutan sampah dapat terpilah. Tidak lupa dengan koordinasi dengan ketua RT dan RW (ketika semakin masif) untuk melakukan pemilahan dan pengolahan sampah ini. Edukasi pada ibu-ibu pun harus dilakukan dengan cara yang tidak membuat warga mengantuk. Misalnya adalah dengan menyelipkan ajakan untuk memilah sampah pada pengajian, arisan, ataupun senam. Ketika mengedukasi sebenarnya prinsipnya adalah kahartos (dapat dimengerti), karaos (terasa manfaatnya). maka dari itu sampah organik dapat dibuat menjadi pupuk dengan cara sederhana misal dengan kompos takakura maupun biopori. Kemudian hasil kompos digunakan untuk menyuburkan tanaman yang dapat dimakan, misal kangkung. Warga yang rajin memberikan sampah pilahan pun harus diberikan insentif berupa hadiah. Sesederhana apapun itu, ibu-ibu senang sekali diberikan apresiasi dan suka menceritakan itu kepada ibu-ibu yang lain sehingga yang lain pun menjadi "kabita" (pengen). Itulah tips yang diberikan oleh Pak Asep, yang kemudian membuat beliau sukses untuk mementori pengolahan sampah di berbagai RT dan berkesempatan untuk melihat pengolahan sampah di Jepang.

Pak Asep mengatakan bahwa TPA akan berpindah dari Sarimukti ke Legok Nangka ketika TPA Sarimukti sudah penuh. Biaya pembuangan sampah ke TPA Legok Nangka akan jauh lebih besar dari Sarimukti yaitu Rp800.000/ton. Bandingkan dengan biaya pembuangan sampah ke TPA Sarimukti yaitu sebesar Rp60.000/ton. Besarnya biaya yang harus dibayarkan ini menjadikan kita harus mencoba mengurangi sampah sendiri agar dapat membuang sampah sedikit ke TPA. Konon katanya besarnya biaya itu disebabkan oleh adanya pengolahan lanjut yang dilakukan di TPA Legok Nangka. Karena teknologi pengolahan yang digunakan itu, biaya pembuangan menjadi melonjak tinggi. Tapi menurutku mungkin juga untuk menyadarkan masyarakat untuk tidak bermudah-mudahan dalam membuang sampah ke TPA. Sama seperti biaya air perkubiknya yang begitu mahal di luar negeri membuat para warganya menjadi memikirkan cara untuk menghemat air.

Kembali lagi ke pengolahan sampah pasar. Setiap hari sampah organik pasar yang ditimbulkan sebesar kurang lebih 3 ton. Sampah organik itupun dicacah menjadi halus dengan mesin pencacah sehingga menjadi bubur. Bubur itu pun kemudian diangkut oleh perusahaan maggot skala industri. Siklus ini terjadi setiap hari, maka dari itu sangat sedikit sampah organik yang diangkut ke TPA. Selain itu disana juga terdapat sampah dari kelapa. Pak Asep mengatakan bahwa sabut kelapa dapat digunakan menjadi cocofiber dan bagian halusnya dapat digunakan sebagai cocopeat. Aku menjadi teringat dengan sampah kelapa yang begitu melimpah di Pasar Gedebage yang sampai membuat penjualnya bingung untuk menanganinya. Padahal potensi sabut kelapa itu masih banyak, meskipun sudah menjadi limbah. Aku jadi teringat dengan lambang pramuka, tunas kelapa, masa laluku.

Aku melihat seperti ada gundukan tanah yang berada diujung tempat pengolahan sampah pasar itu. Ternyata itu adalah kompos masaro yang dibuat oleh Dr. Zainal Abidin. Pak Asep tertawa, "Wah iya ini dosennya neng ya", aku hanya tersenyum. Bukan, beliau bukan dosenku, beliau dosen tekim. Tapi aku cukup familiar dengan konsep masaro yang sudah lumayan terkenal. Pak Zainal dan timnya rupanya mencoba membuat kompos dengan konsep yang ia miliki yaitu dengan tanpa pembalikan. Namun hasilnya ternyata kurang baik, setelah seminggu ditunggu ternyata masih basah dan berbau. Kemudian ditunggu sebulan, dua bulan, lima bulan, setengah tahun, masih saja seperti itu. Tidak ada warga atau pertanian yang mau diberikan kompos yang seperti itu. Kompos seharusnya kering dan tidak berbau. Maka dari itu, hasilnya dibawa saja ke perkebunan pribadi yang dimiliki oleh tim Pak Zainal. Namun kalau dilihat dari gundukannya, seharusnya tim Pak Zainal bertanggung jawab untuk membawa kompos buatan mereka ke tempat mereka yang seharusnya. Namun, itu mungkin karena aku tidak tahu apalagi yang direncanakan oleh Pak Zainal.

Tak lama kami berbincang-bincang, hujan turun dengan derasnya. Aku dan Tyaz tidak memiliki pilihan lain selain menunggu di tempat pengolahan sampah daripada harus terkena tampias air lindi ketika berusaha keluar dari tempat ini. Namun hujan tersebut memang membawa berkah. Kami dapat berbincang lebih lama dengan Pak Asep, dan Pak Anton sesekali menambahkan jawaban. Pak Asep mengatakan bahwa pengolahan sampah yang digalakkan oleh kang pisman adalah upaya waste-to-food, yaitu menggunakan sampah untuk keperluan pertanian maupun peternakan. Beliau berkata,"Ngolah sampah mah harusnya masuknya sampah, tapi keluarnya kangkung, lele, ayam. Bukan sampah lagi." Perkataan beliau mengingatkanku pada perkataan Pak Hatami tentang kesehatan manusia. Pak Hatami mengatakan bahwa sebenarnya kesehatan manusia itu tergantung makanan apa yang masuk ke dalam tubuhnya. Jika apa yang masuk ke dalam tubuhnya adalah bahan-bahan kimia yang disemprotkan pada lahan pertanian dan hanya sedikit saja nutrisi yang terdapat pada tanaman pangan, maka kita sebenarnya hanya memakan racun. Kemudian timbul lah berbagai penyakit yang aneh-aneh, itu semua karena apa yang kita makan. Maka dari itu, seharusnya kita dapat mengarahkan para petani untuk dapat memakan hasil taninya sendiri karena itu berarti mereka mulai percaya dengan kualitas taninya sendiri. Ayam-ayam juga harus diperhatikan apa makanannya. Apabila makanan mereka tidak bernutrisi dan hanya diharapkan telurnya saja yang banyak, maka telur itu tidak mengandung banyak protein--seperti yang selama ini kita ketahui. Ternyata pernyataan Pak Asep tentang waste-to-food mengingatkanku kembali dengan keterkaitan antara lingkungan dan ketahanan pangan.

Selain memproduksi bubur, tempat pengolah sampah pasar ini juga memiliki pembiakan BSF (Black Soldier Fly). Beliau memulai ceritanya tentang Black Soldier Fly dengan mengatakan ini,

"Ini mereka pada yatim piatu neng. Bapaknya mati setelah menikah, ibunya mati setelah bertelur. Jadi BSF ini contoh buat nikah sekali aja seumur hidup ya neng"

Hehehe iya Pak, tapi sedih juga ya Pak, pas si Ibu bertelur, suaminya udah mati, kasian ga ada yang nemenin pas mau bertelur, batinku.

Kemudian beliau menjelaskan tentang siklus hidup BSF. Aku baru mengerti bagaimana siklus hidupnya dengan penjelasan beliau itu. Aku pernah mengerjakan tugas tentang itu, mengunjungi pembiakan BSF yang lain di Bank Sampah lain, tapi aku baru mengerti dengan penjelasan beliau. Beliau mengatakan bahwa maggot dapat makan 2 kali dari berat badannya. Tidak terlalu terdengar maggot memiliki berat badan berapa karena derasnya hujan membuat kami harus berbicara lebih kencang. Mereka juga tidak punya gigi, mereka makan dengan cara mengeluarkan enzim untuk dapat mencairkan bubur sampah organik agar dapat mereka sedot. Apabila bubur sampah sudah menjadi kering, berarti sari-sarinya sudah dimakan oleh maggot seluruhnya. Aku jadi teringat dengan RDF yang harus kering, apakah dari hasil maggot ini kah dapat digunakan sebagai bahan baku RDF? untuk saat ini, hasil dari degradasi sampah dengan maggot dijadikan sebagai kosgot (kompos maggot). Maggot dapat digunakan sebagai pakan ayam dan ikan. bekas tubuh maggot yang mengering pun dapat digunakan sebagai camilan bagi ayam. terdapat beberapa fase ayam untuk dapat diberikan maggot. Namun pemberian pakan berupa maggot juga tetap disertai dengan campuran pakannya yang biasa, meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit. Pak Asep mengatakan bahwa ayam negeri yang diberi makan maggot rasa dagingnya lebih gurih sehingga mirip dengan ayam kampung. Beliau juga mengatakan bahwa kangkung yang dihasilkan dari perkebunan sendiri yang disuburkan dengan kompos sendiri, tidak akan menyebabkan asam urat. Sebenarnya aku kurang tahu apakah itu benar atau tidak, tapi boleh juga dicoba.

Ternyata BSF memang benar benar memberikan  gambaran yang sangat real tentang waste-to-food. Aku jadi berpikir apakah di masa depan nanti, aku mengolah sampah, bertani dan beternak sendiri saja. Jadi tidak perlu membeli dengan harga bahan pokok yang dimainkan oleh para mafia dan tengkulak. Kualitasnya pun aku ketahui, sehingga anak-anak memiliki pemikiran yang cemerlang dan tubuh yang kuat. Kelebihan uang yang kudapat dari suami mungkin akan banyak disedekahkan dan diinvestasikan properti. Loh malah merencanakan hidup?

Pak Asep berkata bahwa tempat ini telah mulai dibangun tahun 2014. Tadinya hanya ada kolam besar disana. Sekarang pun kolam tersebut masih disisakan untuk beternak lele. Beliau bekerja dari tahun 2019 disana, setelah ke Jepang tahun 2018. Hujan terlihat mulai reda, meski menyisakan kubangan-kubangan disana-sini dan tanah yang menjadi lumpur. Aku mengucapkan banyak terima kasih pada Pak Asep. Banyak sekali pelajaran yang kudapatkan dari beliau. Kata-kata yang suka sekali aku ucapkan pada orang seperti beliau yaitu

"Terima kasih, Pak, saya banyak sekali belajar dari bapak. Kami mahasiswa sebenarnya memang tidak tau apa-apa Pak. Kami hanya mengetahui apa yang ada di buku. Kami tidak tau apa yang terjadi pada lapangan, saya harus banyak belajar dari Bapak"

Kemudian Pak Asep menjadi tersipu malu dan mengajak untuk berkunjung kesana lagi. Aku senang sekali merendahkan diriku pada orang yang aku ingin ambil ilmunya. Hal itu kulakukan untuk "mengosongkan gelas", aku menganggap bahwa diriku tidak mengetahui apa-apa sehingga sangat siap untuk diisi, siap untuk menerima segala ilmu yang diberikan. Apabila "gelas" itu tidak dikosongkan, mungkin hanya timbul perdebatan karena merasa diri paling tahu. Tapi aku memang hanya mahasiswa yang butuh banyak belajar dari orang-orang seperti beliau.

Semoga gelas yang terisi ini dapat menyegarkan dahaga.

Bandung, 6 Februari 2022

Komentar