Review Bumi Manusia

Entah mengapa, aku menyukai novel-novel yang berlatar belakang tempat atau waktu yang belum pernah aku ketahui, misal kehidupan pada zaman dahulu kala, jauh sebelum aku lahir. Ketika manusia belum mengenal internet, ketika orang-orang begitu sabar menahan rindunya sampai sepucuk surat dari yang dicintainya datang ke pangkuan. Zaman dimana orang berani berkorban begitu banyak meski tahu akhirnya akan rugi besar. Setelah lama tidak membaca novel, pada liburan kali ini, aku putuskan untuk membaca novel karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Pada awalnya aku tidak berniat membaca novel itu. Namun tidak ada buku yang menarik bagi diriku di toko buku pada hari itu. Lalu aku mencoba untuk membawanya pulang, tentunya lewat izin kasir terlebih dahulu. 

Novel ini berlatar belakang pada abad ke-19 dimana Belanda menguasai Indonesia (Hindia Belanda). Yang lebih diperlihatkan pada novel ini adalah kehidupan di luar peperangan, sesuatu yang belum pernah ku ketahui tentang masa penjajahan di Indonesia. Biasanya yang dibahas pada masa penjajahan adalah peperangannya, namun yang kulihat disini adalah tentang kehidupan sosial budayanya dimana terjadi diskriminasi yang teramat besar bagi kaum Pribumi yang merupakan penduduk asli.

Terasa benar bahwa penjajahan tidak hanya merugikan harta benda dan jiwa. Namun juga kemanusiaan, harga diri. Pribumi selalu direndahkan, diperlakukan tidak adil, dianggap lebih rendah dari orang berkulit putih. Maka dari itu Minke yang merupakan pribumi yang terpelajar diberi peringatan oleh sahabatnya Jean Marais, untuk adil sejak dari pikiran. Penjajah itu memang terpelajar namun tidak adil dari pikiran, apalagi perbuatan.

Novel ini bercerita tentang perjuangan dengan sekuat tenaga meskipun kemungkinan untuk berhasil sepertinya sedikit. Hal ini sebenarnya di sebutkan secara implisit pada awalnya dimana Jean Marais melukiskan seorang tentara belanda yang menginjak seorang wanita pribumi dan mengarahkan senjatanya padanya. Jean terkenang ketika ia menjadi serdadu Belanda ketika di Aceh, ia terkagum-kagum atas semangat orang-orang Aceh dalam membela diri dari penjajahan yang dilakukan oleh kaum kolonial. Mereka seperti tidak takut akan mati. Belanda sampai kewalahan melawan mereka, padahal yang mereka miliki hanyalah parang, rencong, dan bambu runcing, sedangkan Belanda melawan mereka dengan meriam dan senapan -- pertarungan yang tidak seimbang. Orang-orang Aceh tetap tidak gentar untuk melawan kaum putih karena ketidakadilan yang mereka lakukan, meskipun mereka tahu pada akhirnya mereka akan ditundukan juga.

Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Minke dan Nyai Ontosoroh. Mereka berusaha untuk melawan ketidakadilan yang selalu ditimpakan oleh kaum Pribumi kala itu. Pribumi selalu dianggap lebih rendah daripada orang Eropa yang tentunya memiliki tubuh tinggi dan berkulit putih. Mereka mengagungkan semua yang memiliki peranakan Eropa dan merendahkan orang Pribumi, meskipun kualitas diri mereka tidak kalah oleh orang Eropa. Hak asuh Nyai Ontosoroh terhadap Annelies hilang begitu saja karena Nyai adalah seorang gundik (budak yang dijadikan istri orang Belanda) . Padahal beliau sudah dididik oleh Tuannya (suaminya) untuk dapat mengurus perusahaan besar. Begitupula dengan Minke yang sudah bersekolah di sekolah Belanda, H.B.S. Meskipun ia telah sama terdidiknya, bahkan lebih pintar dari teman-teman berkulit putih yang bersekolah bersamanya, ia tetap dipandang rendah hanya karena ia yang merupakan Pribumi. Status pernikahan Minke dan Annelies tidak diakui oleh pengadilan Belanda padahal telah disahkan oleh pengadilan agama karena tidak disetujui oleh wali Annelies yang sah yaitu Tuan Mellema yang sudah tiada.

Aku rasa perjuangan Minke dan Nyai Ontosoroh sama halnya dengan perjuangan masyarakat aceh pada Belanda. Minke dan Nyai membela diri untuk mempertahankan Annelies agar tetap berada di Hindia Belanda. Minke berusaha dengan memanfaatkan relasi Belandanya, orang-orang yang juga bersekolah di HBS. Ia juga menulis artikel di koran-koran dalam Bahasa Belanda karena ia tidak bisa menulis Melayu. Koran-koran itupun di terjemahkan dan dibacakan pada warga dan warga pun ikut membantu membela Minke. Nyai Ontosoroh yang memiliki banyak harta mencoba untuk menyewa advokat Belanda untuk membela mereka. Namun apa daya, semua itu tidak berhasil, mereka tetap harus ditundukan oleh kenyataan bahwa Annelies tetap harus diambil walinya yang sah di Amsterdam, yaitu mantan istri Tuan Mellema. Minke dan Nyai Ontosoroh pun harus menerima kenyataan bahwa mereka harus melepas Annelies pergi. Dialog terakhir pada buku itu adalah Minke berkata, "Kita telah gagal," kemudian Nyai menjawab, "Setidaknya kita sudah berjuang, sehormat-hormatnya." Kata-kata ini begitu kuat dan sangat berbeda dengan pribumi kala itu yang banyaknya memilih untuk menyerah saja ketika menghadapi orang Belanda.

Novel ini memang mayoritas berisi tentang kisah cinta Annelies dan Minke. Ada beberapa hal pula yang tidak aku sangka akan diceritakan di novel ini, aku tidak menyangka ternyata hal tersebut sudah terjadi di masa itu. Namun aku percaya terkadang penulis menyampaikan sesuatu secara tidak langsung dan aku mencari pesan itu disela-sela cerita ini. Pada filmnya, ada beberapa hal yang tidak benar-benar sama dengan yang ada di novel, namun aku percaya itu adalah kreasi sutradara agar film lebih menarik. Namun ada beberapa hal yang membuatku terheran karena berbeda dengan bukunya, yaitu pelajaran kesukaan Minke dan panggilan Minke pada ibunya. Seingatku Minke suka dengan pelajaran Bahasa dan Sastra Belanda, justru pada film ia suka pelajaran sejarah. Minke memanggil ibunya dengan sebutan Bunda, namun di film panggilannya adalah Ibu. Hanya hal-hal kecil, selebihnya bagus.

Novel selanjutnya pasti tidak banyak dengan kisah cinta karena Annelies sudah berada jauh, jauh sekali dari Minke dan Ibunya, Nyai Ontosoroh.


Bandung, Riung

16 Januari 2021

Komentar